Selasa, 17 Juli 2012

Sensasi Cap Tikus Kala Pesta Adat





 TEMPO.CO, Jakarta - Pernah mendengar minuman Cap Tikus? Nama ini mungkin Anda dengar ketika menyaksikan berita orang yang meninggal dunia karena minuman oplosan. Di Indonesia timur minuman ini adalah hal yang biasa disajikan, terutama pada acara adat.

Tapi apa sebenarnya Cap Tikus? Ini adalah minuman keras beralkohol di atas 40 persen. Lebih keras dari Tequila. Bibir dan mulut seperti terbakar waktu menyesap Cap Tikus.

Penduduk di timur mengenal Cap Tikus sejak kedatangan bangsa Portugis. Dari merekalah masyarakat mempelajari proses penyulingan air buah enau menjadi Cap Tikus. Lalu kenapa bernama Cap Tikus? Kabarnya nama itu dipakai karena pembuatan Cap Tikus dilakukan di sela-sela pepohonan, tempat tikus hutan hidup.

Sebelum ada Cap Tikus, penduduk meminum air enau. Saguer namanya. Beda dengan Cap Tikus, saguer tidak melalui proses penyulingan. Hanya hasil fermentasi air buah enau, berwarna putih mirip susu encer, disajikan dalam selongsong bambu, dan kadar alkoholnya tidak terlalu keras.

Di Desa Gamtala, Kecamatan Sahu Timur, Kabupaten Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara, saguer minuman wajib acara makan adat atau horom toma sasadu. Tiap orang harus menenggak saguer. Kalau tidak, dia mesti membayar uang ganti rugi yang besarannya tidak ditetapkan.

Selama horom toma sasadu, bukan satu-dua gelas saguer saja yang diminum warga. Alkohol itu ditenggak selama sembilan hari sembilan malam, tujuh hari tujuh malam, lima hari lima malam, atau tiga hari tiga malam. Tanpa ada yang mabuk.

“Terbukti selama horom toma sasadu warga tidak berkelahi. Artinya mereka semua masih sadar,” kata Thomas Salasa, Kepala Adat Suku Sahu, Sabtu 24 Maret 2012.

Untuk santapan, masyarakat memakan nasi kembar. Rupa nasi kembar mirip lontong, dibakar dalam bambu dan tekstur rada padat. Dinamakan kembar karena gulungan pelepah pisang membentuk dua selongsong nasi. Lauknya ada sayur sop; ikan somasi, ikan air tawar, berbumbu manis pedas; balado ikan teri kacang; serta tumis kerang. Semua sajian dimakan berhari-hari, bermalam-malam, tanpa pernah kekenyangan.

Horom toma sasadu berasal dari istilah horom, artinya makan; toma berarti di; dan sasadu, rumah adat. Sasadu berdiri di atas beberapa tiang kayu, tanpa dinding, dan beratapkan daun sagu. Dalam setahun, makan adat digelar dua kali. Pada Maret makan adat disebut sa''ai ma ngowa, berarti syukur kecil setelah ritual tanam padi. Kedua digelar pada Juli, bernama sa''ai lamo atau syukur besar usai panen.

Di horom toma sasadu masyarakat tak melulu makan dan minum Cap Tikus. Secara bergiliran mereka menabuh empat tifa sepanjang empat meter. Genderang tifa dari batang pohon enau dan kulit rusa diikuti pukulan gong guna mengiringi warga yang menari legu salai.

Jika datang ke Festival Teluk Jailolo, 16-19 Mei 2012, Anda bisa menyantap nasi kembar, menyesap saguer atau Cap Tikus pada horom toma sasadu. Karena bukan penduduk asli, Anda akan diterima dengan sederet prosesi adat: pencucian kaki, dinamakan joko kaha; tarian penyambut tamu, sara dabi-dabi; tiupan musik bambu; dan sederet lagu adat, musik yanger.

Tapi apakah benar nama Cap Tikus berasal dari proses penyulingan tuak di tempat tikus hutan hidup, tidak ada yang bisa memastikannya. “Sepertinya hanya sebutan dari penduduk secara turun-temurun," kata Thomas.

CORNILA DESYANA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar